
kabarinesia.com.Jakarta – Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menilai kehebohan terkait isu ijazah palsu yang diarahkan kepada Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka hanyalah bentuk upaya menciptakan kegaduhan politik yang tidak sehat dan tidak produktif.
“Tuduhan seperti ini sudah berkali-kali dilayangkan ke Pak Jokowi, namun tetap diulang seolah tidak puas. Sekarang Mas Wapres yang jadi korban,” ujar Faldo Maldini, Ketua DPP PSI Bidang Komunikasi Publik, Sabtu (25/10/2025).
PSI menegaskan, dunia politik seharusnya menjadi arena adu gagasan, bukan tempat menyebar fitnah dan kebencian. Faldo mengajak seluruh pihak untuk menjaga demokrasi yang bermartabat.
“Kita semua berkewajiban menjaga kualitas demokrasi dengan menghadirkan diskursus yang bermartabat,” tegasnya.
Menurut Faldo, keberadaan Gibran mendampingi Presiden Prabowo Subianto merupakan simbol regenerasi kepemimpinan bangsa. Karena itu, PSI mendorong agar polemik ijazah segera dihentikan supaya pemerintahan Prabowo–Gibran bisa kembali fokus pada kerja-kerja besar untuk memakmurkan rakyat.
Sementara itu, hasil survei Poltracking Indonesia menunjukkan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mencapai 71,4 persen, gabungan antara yang sangat puas dan cukup puas.
“Kepuasan publik terhadap Gibran sebagian besar didorong oleh citranya sebagai sosok muda yang membawa energi baru dan perubahan positif,” ujar Hanta Yuda, Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia, dalam siaran langsung di kanal YouTube Poltracking TV, Sabtu (25/10/2025).
Lebih rinci, 19 persen responden menilai Gibran membawa energi baru, 15,7 persen menilai dekat dengan rakyat, 10,3 persen melihatnya mampu bersinergi dengan Presiden Prabowo, 8,7 persen menilai pintar dan cerdas, serta 7,2 persen menganggapnya membela kepentingan masyarakat kecil.
Meski begitu, 25,3 persen responden mengaku masih belum puas terhadap kinerja Gibran.
Masih dari survei yang sama, mayoritas masyarakat menolak tuduhan ijazah palsu yang menyeret nama mantan Presiden Joko Widodo.
“Yang percaya hanya 16,1 persen, sementara yang tidak percaya jauh lebih banyak, yakni 56,8 persen,” ungkap Hanta Yuda.
Hasil ini memperkuat pandangan PSI bahwa isu ijazah hanyalah kegaduhan politik tanpa dasar hukum yang jelas, dan publik kini semakin rasional dalam menilai kinerja pemimpin.
(Supriyadi)
Tidak ada komentar